Thursday, June 6, 2019

Menjadi Laki-Laki (part 3)


 cerita sebelumnya :  Dinara part 2


Dinara part 3


Suara gemiricik air membangunkanku setelah sesaat tidur terlelap karena serangan nyamuk menuju pagi sedikit mereda. Kemudian terdengar suara adzan subuh dari pengeras suara di masjid sekitar saling bersahutan. Beberapa orang sedang berwudhu di tempat bersuci dekat mushola, mungkin mereka sedang dalam perjalanan yang jauh sehingga mampir shalat di mushola pom bensin. Aku segera bangkit dari peristirahatanku yang sangat singkat ini, meski badanku masih lelah dan lemas, aku harus tahu diri. Aku sedikit gontai berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka. Lalu berbenah untuk keluar dari area pom bensin setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih ke penjaga toilet. Aku tidak solat, bahkan tidak pernah solat selama aku hidup. Ada keinginan untuk solat, namun rasanya enggan,  seperti ada batu-batu berat di tubuhku bila membayangkan diriku akan solat. Tapi yang pasti aku seorang muslim, karena ibuku di KTP nya beragama islam, kalau ayah biologisku?? Aku belum tau :/
Matahari perlahan bergerak dari peraduan nya, memancarkan sinar oranye redup di awan biru yang jernih, masih tersisa sedikit bayang-bayang gelap sisa malam berkuasa. Ku lihat tukang kopi panggul sudah siap berjualan dengan termosnya yang mengeluarkan uap panas. Begitu terlihat jelas meski kabut ada sedikit rendah, aku menyebrangi jalan dari pom bensin menuju terminal menuju tukang kopi panggul.

“kopi indocafe di seduh berapa mang”

“3,000”

“yaudah 1 ya mang”

Tak lama tersedia kopi indocafe yang di seduh dengan air panas di buat dalam gelas plastik ukuran 220 ml, gelas sedikit menciut karena air panas tersebut. Aku duduk nongkrong di sebelah penjual kopi, tepat di atas saluran air dekat pintu keluar area terminal.

“mang jualan dari jam berapa??” tanyaku membuka obrolan.

“dari jam 11 malem, ini neng apa aa ya, saya keder..” jawab mamang kopi senyum-senyum.

“apa aja deh mang,bebas..”jawabku terkekeh sambil mencoba menyeruput kopi yang masih juga panas.

“mang, saya butuh pekerjaan, mamang tau gak ada lowongan pekerjaan sekitar sini, apa saja mang, kuli angkut boleh, kuli cuci gosok boleh, tukang cuci piring boleh, terserah apa aja..” ujarku bertanya ke mamang kopi.

“loh memang kamu darimana? Ini pertama kali saya liat kamu di terminal ini..”

“saya dari kampung kebon jati mang, lagi coba-coba rantau, sekarang udah mau kehabisan uang..” jawabku bohong.

“ooh gitu, yaudah bantu mamang aja bikinin kopi, nanti rada terang biasanya rame yang beli kopi, tapi mamang gak bisa kasih banyak-banyak ya..”

“beneran nih mang??” aku kegirangan, hampir saja ku peluk si mamang sebagai ucapan terimakasih.

“iya beneran, asal kerja nya yang jujur ya, kejujuran adalah mata uang berharga dimanapun kamu berada..”  ucap mamang bijak.

Pertama kalinya dalam hidupku, aku di ajarkan dharma baik dalam hidup, seperti majalah loak yang terakhir ku baca sebelum pelarian, tertulis bahwa kita kalah kalau kita menyerah, sepahit apapun keadaanmu tetaplah melangkah. Karena tuhan selalu punya cara tersendiri untuk memberikan yang terbaik bagi umatnya yang berdoa dan berusaha. Hari ini rezeki ada dua. Pertama mendapat pekerjaan, kedua mendapat petuah baik dari orang yang baru saja ku kenal. Terimakasih ya Allah.

Cahaya subuh perlahan berganti fajar, matahari pelan-pelan mulai terasa hangat, supir-supir angkutan umum terlihat menguap-nguap dengan wajah lelah dan berminyak karena terus bertahan mencari penumpang untuk kejar setoran. Setidaknya itu yang ku dengar sekilas dari obrolan mereka saat memesan kopi. Dan pertama kali aku bekerja bantu mamang, aku pun tau nama mamang adalah mang olih. Semakin mentari perlahan naik ke arah terbit, terminal pun makin ramai, yang berseragam sekolah, pekerja kantoran, pekerja buruh, tukang gorengan, tukang air mineral, ibu-ibu menggendong bayi yang di hari selanjutnya kuketahui berganti kostum di balik bangunan rusak untuk kemudian menjadi pengemis dari satu bus ke bus yang lain.
Lalu ku lihat mbu mur kepayahan mengangkut belanjaan dari pasar sebanyak dua kantong plastik hitam besar yang ukuran nya melebihi tubuhnya sendiri. Ingin ku bantu bu mur, tapi aku tak enak sama mang olih, selain itu aku takut di kira modus sama bu mur. Jadi ke perhatikan saja bu mur lewat sedikit terengah-engah kehabisan nafas.